Soneta Mandoors dalam SONE

25 Juni

Mandoors melepas album penuh perdana berjudul SONE
Soneta Mandoors dalam SONE Sudahlah alami bagi manusia untuk terus-menerus menginginkan yang lebih baik. Tak hanya dalam hal mencerna, melainkan juga dalam menciptakan. Tentu, hal-hal seperti inilah yang mendefinisikan kita sebagai insan. Namun, rasanya tak selamanya hasrat harus dipuaskan.

Mandoors
Gambar 1. Mandoors (dok. Mandoors)

Mari ambil "Semestinya" sebagai contoh. Jika tak dihentikan pada bentuknya yang kedelapan, entah kapan ia dapat ditampakkan ke muka publik. Memang, terdapat peluang untuk menjadikannya semakin sempurna dalam tiap iterasi, tetapi mencukupkan diri merupakan pilihan paling tepat yang telah diambil oleh Mandoors. Keputusan tersebutlah yang agaknya mendorong SONE untuk dapat dengan rela dibebaskan dari belenggu.


Dipenggal dari kata sak isone (sebisanya), kuartet neo-psikedelik asal Semarang ini akhirnya belajar bahwa kepuasan dapat pula dicapai dengan mengimaninya sendiri. Lagipula, buat apa memaksakan diri mengejar sesuatu yang di luar jangkauan? Yang penting yang dilakukan sudah merupakan usaha yang terbaik, bukan?

Kalau toh ada yang tidak setuju, mungkin mereka harus menggali lebih jauh mengenai apa-apa saja yang harus dikorbankan oleh Mandoors dalam mensukseskan SONE: disusun berbarengan dengan tumpukan tugas-tugas kuliah arsitektur membuat pendanaan album tersebut harus disokong dengan pekerjaan sampingan sebagai pengemudi ojek daring.

Berbekal dukungan dana tambahan tersebutlah pengerjaan SONE dapat terus bergulir hingga sepakat untuk disudahi pada tahun 2022. Menjadikan "Semestinya" sebagai cetak biru, enam nomor harus disingkirkan agar nomor-nomor yang disajikan lebih padu. Berpaling dari bebunyian gersang khas gurun pasir, sebelas tembang yang dimuat dalam SONE didapuk menjadi koleksi atraksi penyintesis analog pengiring joget.

Memang, pengaruh-pengaruh utama dari arahan suara anyar Mandoors ini tampak dengan jelas—mungkin terlalu kentara—di permukaan. Namun, kalaupun akhirnya disebutkan daftarnya, Kurniawan Nugroho (vokal/gitar), Ichsan Chamami (penyintesis), M. Zuma Mahardhika (bas), dan Dewa Herlambang (drum) rasanya tak akan repot-repot menampiknya, sebab mereka percaya bahwa lirik mereka juga perlu diperhitungkan sebagai bahan evaluasi.

Mandoors - SONE
Gambar 2. Sampul SONE (dok. Mandoors)
Melalui EP debutnya silam, kuartet ini telah dengan tegas memperkenalkan diri mereka sebagai sekumpulan skeptik. Bertahun-tahun setelahnya pun rupanya tak banyak yang berubah: Mandoors tetaplah tukang protes yang selalu mempertanyakan ini dan itu. Sebagai contoh, "Tata Kala Siapa" memuat aturan yang mengekang sebagai salah satu objek dari keraguan mereka.

Disaring dari problematika yang tumbuh kala hidup di tengah masyarakat, tema yang diangkat dalam nomor-nomor SONE barang pasti relevan. Namun, tanpa medium yang tepat, permasalahan-permasalahan tersebut rasanya akan dengan mudah didengar hanya sebagai angin lalu. Maka, dengan cermat, Mandoors kali ini memilih untuk menyampaikan unek-unek mereka dalam bahasa Indonesia.

Jika dituduh latah, kuartet ini akan mengaku keberatan, sebab lirik telah mereka rumuskan semenjak 2019 silam. Bahkan, bersamaan dengan penyampaiannya yang tak lugas, formula yang sama telah digunakan sedari mereka masih berperan sebagai The Dormitories. Kalaupun ada yang diperbarui, hal tersebut hanyalah keharusan untuk selalu berima.

Sesi dengar Mandoors
Gambar 3. Sesi dengar Mandoors (dok. pribadi)
Kini, setelah berhasil mewujud dalam satu rupa, Mandoors agkanya masih belum ingin berhenti memberikan SONE wujud-wujud lain. Usai melepas video musik "Semestinya" dan menyelenggarakan sesi dengar, Iwan dan kawan-kawan selanjutnya akan membungkus album penuh perdana mereka ini ke dalam kemasan fisik serta menyajikan bebunyiannya secara langsung bagi peminat musik kawasan Jawa dan Bali.

Baca Pula

0 comments