.Feast - Abdi Lara Insani (Ulasan)

11 Juni

Usaha .Feast mengemas kembali nomor-nomor lama menodai kisah Abdi Lara Insani.
Kisah jaya hingga jatuhnya Ali
.Feast — Abdi Lara Insani (Ulasan)
Sampul oleh Ikrar Waskitarana
Semasa masih mengunyah bangku sekolah dahulu, kisah tentang ramalan Jayabaya sempat berpindah dari lidah guru sejarah ke telinga saya-dan mungkin juga beberapa dari kalian. Nubuat yang konon dituliskan sendiri oleh tokoh pemersatu bangsa Kediri, Prabu Jayabaya, tersebut terdiri dari sejumlah ramalan akan nusantara kelak, jauh sebelum konsep negara Indonesia eksis. Sayangnya, laiknya nujuman Nostradamus, tak semua ramalan—atau mungkin hanya belum—terwujud.

Meskipun dikisahkan sebagai raja yang adil dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, Prabu Jayabaya rupanya masih meramalkan hadirnya sosok yang lebih sempurna dari dirinya. Ratu Adil, julukan beliau baginya, merupakan pemimpin yang tak hanya cakap dalam perihal manajerial, melainkan juga spiritual dan supranatural. Pada harinya nanti, Ratu Adil akan berkuasa dan kembali mengantarkan rakyat nusantara yang sebelumnya hidup dalam kesialan menuju gerbang kejayaan.

Apakah gagasan tentang Ratu Adil ini terdengar familier? Tentu saja, sebab paham mesianisme serupa juga dianut dalam agama-agama samawi. Meskipun begitu, selain termuat dalam ramalan dan kepercayaan tersebut, keyakinan akan datangnya juru selamat nyatanya juga hidup dalam beragam kebudayaan dan berbagai kelompok masyarakat (Fatkhan, 2019).

Mesianisme biasanya dilahirkan oleh kelompok yang mengalami penindasan tak berkesudahan. Harapan akan datangnya sosok yang mampu menggandeng mereka menuju selamat tak pelak menjadi sebuah jimat yang menyihir mereka untuk terus memperjuangkan hidup. Kepercayaan bersama akan cita-cita utopis ini mendorong mereka menjadi makhluk sosial yang akhirnya rela bekerja sama mencapai tujuan sembari menunggu sang penyelamat tiba.

Pembahasan di atas, meskipun seharusnya tak perlu panjang lebar, tentu saya lontarkan sebab memang berhubungan dengan album teranyar orkes yang dianggotai Baskara, Adnan, Dicky, Awan, dan Bodat ini. Gagasan tentang Ratu Adil menjadi tema besar yang mereka pilih bagi rilisan kedua dari Earth-03.

Poster Ratu Adil
Gambar 1. Poster Ratu Adil (dok. ffeastt di Instagram)
Guna menyukseskan pengisahan mereka akan sosok juru selamat, kuintet ini pun menciptakan tokoh fiktif bernama Ali—A(bdi) L(ara) I(nsani)- sebagai simbol dan tokoh utama. Melalui unggahan Instagram mereka, selepas lulus kuliah, Ali dikisahkan membentuk partai bernama "Ratu Adil" sebagai kendaraan politiknya untuk mewujudkan misi konyolnya sebagai mantan aktivis: mengubah dari dalam. Satu hal menarik perhatian saya: jika melihat sekilas dari tahun kelahiran, tahun kelulusan dari kampus serta sepak terjangnya di BEM dan parpol, profil Ali ini mirip dengan Faldo Maldini. Hmmm….

・・・

Kisah hidup Ali dibuka dengan prolog berupa wejangan bijaksana sekaligus jenaka yang disampaikan oleh sang Ayah melalui pesan suara. Masih melestarikan tradisi yang diusung .Feast sedari koleksi-koleksi yang lalu, seorang selebritas kembali didapuk sebagai penyumbang tutur kata dalam nomor penggugah. Kali ini, pelantang suara diserahkan ke tangan Vincent Rompies.

Lakon lantas baru benar-benar bermula tatkala "Bintang Massa Aksi" berputar. Melalui liriknya, Ali diperkenalkan sebagai sosok yang progresif-visi dan misi yang ia miliki dapat disebut jauh melampaui zamannya. Oleh sebab itu, ketika akhirnya menerjunkan diri ke medan pertempuran politik, banyak intrik yang dilancarkan oleh musuh-musuh politiknya.

Ilustrasi Ali
Gambar 2. Ilustrasi Ali (dok. ffeastt di Instagram)
Meskipun dirilis sebagai album anyar, Abdi Lara Insani nyatanya turut memuat produk daur ulang dari materi lama kugiran ini medio 2015–2016—kala mereka baru saja belajar merangkak. "Camkan", yang telah akrab di telinga Kelelawar angkatan lawas, kembali memunculkan batang hidungnya sebagai nomor ketiga. Menariknya, tak lagi kumal seperti saat 2016 lalu, "Camkan" kini tampil perlente dengan produksi yang dipoles.

Menyertakan lagu lama dalam koleksi baru tentunya merupakan tindakan yang sah-sah saja. Itu, kalau memang penerapannya tepat. Namun, coba pikirkan, mau apa sih nomor yang mengkritik perilaku masyarakat agama ini di kisah Ali? Kalaupun mau dipaksakan, "Camkan" hanya bisa terdengar sebagai murka Ali terhadap intoleransi yang entah kapan menganggu hidupnya, tetapi, yah, mungkin kuping kita saja yang lalai menangkap maksud .Feast, seperti halnya kuping Ali dalam nomor yang menyusul.


Setelah hilang fokus, "Kuping ini Makin Lalai", nomor keempat sekaligus favorit saya, untungnya kembali meneropong ke arah Ali. Pada titik ini, sang calon juru selamat justru dikisahkan sedang terombang-ambing dalam posisi dilematis yang ia ciptakan bagi dirinya sendiri tatkala memutuskan untuk melangkah sebagai politisi.

Berusaha keluar dari kebingungan tersebut, Ali nyatanya justru menyegerakan diri mengambil alih kekuasaan. Gerakan ini akan kikuk jika tak disertai alasan yang jelas. Oleh sebab itu, "Gugatan Rakyat Semesta"—nomor daur ulang lain yang dibangun dengan berlandaskan "Mantrabreaker"—memuat sederet dalih yang mendorongnya mengambil keputusan tersebut.


Waktu pun berlalu, sasaran pun tercapai, dan dalam "Jaya" Ali dikisahkan telah berhasil mencengkeram tampuk kekuasaan. Sayangnya, iman juru selamat kita ini justru mulai mendapatkan ujian. Visi dan misi mulia yang telah ia tetapkan sedari awal kini mulai terhalangi oleh silaunya harta dan tahta dalam genggaman.

Sekarang, setelah memiliki nama, sosok yang selama ini kita dukung mulai ditelan gemerlap kuasa. Saat segalanya telah mampu dikendalikan sesuai kehendak, Ali akhirnya ogah repot-repot mewujudkan cita-cita luhur yang sempat ia junjung sedari awal. Alih-alih memajukan dan menyejahterakan kehidupan bangsa, "Ali" justru kesenangan bermain Tuhan.

Ilustrasi Ali saat Menjabat
Gambar 3. Ilustrasi Ali saat Menjabat (dok. ffeastt di Instagram)
Penggalan-penggalan cerita tersebut akhirnya mencapai puncaknya dalam "Senin Toko Tutup". Ali yang pada akhirnya korup dan menyelewengkan kekuasaannya layaknya pendahulu yang sebelumnya ia kutuk akhirnya ganti digugat oleh rakyat semesta.

・・・

Album yang dirilis pada 22 April ini pada akhirnya menjadi usaha .Feast untuk melayangkan gugatan terhadap konsep Ratu Adil yang ternyata usang. Agaknya menurut mereka, kedatangan pemimpin yang jadi sosok penyelamat tak akan pernah nyata adanya, sebab siapapun yang nantinya memegang tampuk kekuasaan pada akhirnya akan bernasib seperti Ali dan pendahulunya. Mungkin benar, pada hakikatnya kekuasaan akan membuat manusia menunjukkan warna aslinya. Meminjam istilah Lord Acton (1833–1902), "power tend to corrupt, absolute power corrupts absolutely".

Berbeda dengan Beberapa Orang Memaafkan yang pada saat itu lahir dari kegeraman yang nyata terhadap keadaan Indonesia, album mini ketiga .Feast ini bisa jadi merupakan album yang tak akan langsung menampar secara keras. Meskipun begitu, di saat yang tepat di masa mendatang, Abdi Lara Insani mungkin dapat berfungsi sebagai pengingat kala pemuda-pemudi negeri ini latah menjadi politisi dan berujung tak lebih baik dari pendahulu yang mereka anjing-anjingi.

Penggalan dialog Harvey Dent
Gambar 4. Penggalan dialog Harvey Dent (dok. The Dark Knight)
Memang, komposisi musik di Abdi Lara Insani adalah yang paling tidak neko-neko jika dibandingkan materi .Feast sebelumnya, seperti yang diutarakan Baskara via The Jakarta Post. ALI cenderung kembali ke era Multiverses—rif-rif gitarnya tebal dan gebukan drum mendominasi jadi warna utama—hanya saja tentunya dengan produksi yang lebih rapi.

Sayangnya, seperti yang telah disinggung di atas, kelemahan album ini terletak pada gagalnya usaha .Feast menyesuaikan lirik materi-materi lama agar cocok dimuat sebagai penggalan kisah Ali. Diperlukan pemutaran berulang-ulang sebelum akhirnya otak saya tercuci untuk menerimanya.

Meskipun begitu, album ini bukan berarti sepenuhnya tidak dapat dinikmati. Saya sebagai orang yang malas berpikir ribet misalnya, boro-boro akan mengulik lirik kedelapan nomor yang termuat, kecuali saat membuat tulisan ini tentunya. Lirik mereka pun tetap saja akan saya gumamkan tiap kali lagu mereka berkumandang baik saat bekerja maupun saat lari pagi tanpa sepenuhnya perlu menghiraukan maknanya—"Rapatkan barisan petir di kepalan tangan" bisa saya rapalkan layaknya zikir dan "Niatku sejernih air fiji" dapat saya dendangkan sepenuh hati meskipun menurut saya air Aqua lebih jernih (dan tentu saja lebih lezat).

Baca Pula

0 comments