Daftar Putar: Kilas Atlas

02 Mei

Daftar Putar: Kilas Atlas
Ilustrasi Kilas Atlas oleh Pandhu Bhagaskara. Tata letak oleh Ikrar Waskitarana.
Semarang. Apa yang langsung terbersit di kepala Anda begitu mendengar nama kota ini? Lumpia? Wingko babat? Atau mungkin bandeng presto yang asalnya justru dari Juwana itu? Jika asosiasi yang muncul pertama kali adalah oleh-oleh berupa panganan, rasanya hal tersebut tak pantas disebut salah. Sebab, memangnya apa lagi yang hendak dibahas dari kota ini? Kancah musik arus pinggirnya yang kerap megap-megap menghidupi dirinya sendiri itu?

Yah, mungkin tak seekstrem itu, tapi mungkin juga iya; tergantung seberapa peka Anda menangkapnya. Namun, pada beberapa kesempatan, atau malah hampir selalu, kondisinya memang begitu adanya. Dengan berbekal tekad yang kuat, tak ada hal yang mustahil untuk dilakukan; dengan berbekal (dana) kolektif yang kuat, tak ada panggung yang mustahil untuk diwujudkan. Tetapi, apakah sebenarnya ada timbal balik lain yang bisa didapatkan dari serangkaian aksi nekat yang dilakukan berulang tersebut?

Jika yang ingin disebut adalah keuntungan ekonomi, saya dan Anda sudah dapat melabeli diri sebagai pelawak. Sebab, hampir tak ada yang dapat memperbaiki sudut yang satu itu, bahkan dengan tarif perseorangan seharga Rp25.000,00 yang dikenakan kepada penonton panggung medio 2008—kesampingkan dulu kucuran modal dari perusahaan rokok karena ia adalah bantuan yang kesiangan. Namun, apakah hidup harus soal uang 24/7? Nampaknya tidak, khususnya bagi mereka yang senantiasa sukarela patungan demi mewujudkan cita mereka sendiri, baik sebagai penyelenggara atau bahkan penampil.

Untungnya, rugi harta tak selalu diiringi dengan rugi batin. Yang paling utama tentunya adalah memberi makan jiwa dengan kepuasan, apalagi jika semua dilakukan dari, oleh, dan untuk diri sendiri. Lagipula, bukan itu satu-satunya dampak yang menampakkan diri setelah pentas usai. Relasi merupakan sebuah nikmat lain yang juga nyata manfaatnya.

Meluasnya relasi lantas menjadi pemicu dari terbukanya peluang baru. Ia mengguyur tandusnya kecintaan banal antara Semarang dan ingar-bingar metal dan hardcore; ia menyediakan lahan-lahan baru bagi gaya musik lain untuk berseling tumbuh; ia mendorong kancah musik Semarang untuk membuka dirinya secara lebih luas—memberikan fasilitas bagi yang masuk dan membekali nilai tukar tak tampak bagi yang keluar.

Bergulir dari sana, kancah musik Semarang perlahan malih ke dalam rupanya yang kiwari. Pelakunya, baik penyelenggara maupun musisi, semakin banyak dan beragam. Tentu, ia semakin gegap gempita, tetapi apakah hal ini dibarengi dengan peningkatan kualitas? Apakah para penyelenggara sadar bahwa mereka harus tahan banting? Apakah para penyelenggara paham bahwa ada beberapa praktek yang perlu mereka lestarikan? Lalu, apakah para musisi sadar bahwa mereka akan sulit menarik perhatian jika tak berkenan memaksa diri menjadi luar biasa?

Ah, sampai di sini rasanya ini semua terlalu muluk-muluk. Di tengah segala keresahannya yang terpendam itu, bagaimana kalau kita ambil waktu barang sejenak untuk merayakan rupanya yang nampak sekarang ini? Tak ada salahnya bukan? Toh, hari ini merupakan hari jadi kota yang masih kita cintai ini.

Sebuah perayaan tentunya tak akan meriah jika tak dilakukan ramai-ramai. Daftar putar yang satu ini pun ingin menghadirkan semangat yang sama. Tak lagi melakukannya sendiri, kami meminta bantuan Soyy, Rrefal, Cosmicburp, dan BeverlyLine untuk masing-masing memilih dua buah lagu favorit mereka dari musisi Semarang lain. Susunan yang dihasilkan lantas dipercantik dengan penggunaan ilustrasi karya Pandhu Bhagaskara sebagai sampulnya. Daftar putar tersebut kami namai Kilas Atlas dan jadilah ia pengiring pesta kita. Mari angkat gelas!





Kata pengantar ditulis oleh Adrian Surya dengan menampilkan cuplikan pengalaman M. Rifqi (Whocares Collective, Moiss).
Di tengah segala keresahannya yang terpendam itu, mari ambil waktu barang sejenak untuk merayakan rupa kancah musik Semarang yang nampak sekarang ini.

Baca Pula

0 comments