Rollfast — Garatuba (Ulasan)

13 Oktober

Tak ada lagi keraguan, Rollfast benar-benar band Bali yang marah terhadap kondisi Bali dalam rock paling Bali.
Marah Bali dalam rock paling Bali
Rollfast — Garatuba (Ulasan)

Pembukaan

a. Disebutnya nama mereka di salah satu utas forum daring, atau b. terpampangnya album perdana mereka di salah satu situs penyedia unduhan mp3 bajakan—entah dari mana tepatnya saya pertama kali mengetahui keberadaan mereka, namun sepanjang yang saya ingat, tak ada yang terlalu memikat dari sajian mereka. Iya, mereka memang mumpuni dalam menggubah segelintir nomor hard rock/rock psikedelik, namun tak ada yang terlalu istimewa, pun baru. Apalagi sebab Lanes Oil, Dream Is Pry dirilis hampir bersamaan dengan Crimson Eyes. Entahlah. Mungkin taat pada templat telah membuat mereka cukup merasa cukup. Atau, tidak juga?

Dilansir dari Siasat Partikelir, sebuah sesi wawancara dengan Backseat Mafia, rupanya membuat mereka merasa tertampar. Tak ada Bali dalam musik mereka—tak mengangkat lanskap pegunungan, persawahan, pesisir, kawasan hiburan, bahkan kawasan pura, pun tak ada suara gamelan maupun jegog dalam skala pelog. Banyak tenaga yang harus dikuras untuk membongkar akar musik yang diusung dan memadukannya dengan identitas budaya yang dihidupi. Namun, tebak saja. Mereka berkenan dan berhasil melakukannya, meski harus kehilangan separuh badan di tengah perjalanannya—Gungwah Brahmantia (gitar) dan Ayrton Willem (drum) mengundurkan diri di tengah proses perekaman—menyisakan Agha Dhaksa (vokal), Arya Triandana (bass, synth), dan Bayu Krisna (gitar) dalam bentuk yang diklaim paling kokoh: segitiga; trio.


Pembedahan

Garatuba—racun laut—dibuka oleh dirinya sendiri dalam bentuk nomor yang ancang-ancangnya hadir dalam rupa tabuhan bersemangatkan mars. Kelar disambut olehnya, sang leak tamak yang doyan mukbang—hanya saja hidangannya berupa alam asri dan ampasnya berupa jejeran klub pantai—dinarasikan melalui lirik penuh dahaga yang terkadang diserukan serupa kecak, pula diwujudkan melalui buaian psikedelik berisik. Kurang lebih seperti itu, hingga akhirnya jejak kehadirannya disinggung dengan satir berlatarkan tangisan synthesizer riuh yang mengisi ruang di antara porsi gitar.


Sepeninggal sang leak, maka kini waktunya Ajik datang. Setidaknya, begitulah bunyi dua kata yang diserukan berulang-ulang sebagai pengantar menyongsong “Pajeromon”, sosok lain yang kali ini merupakan ejawantah dari sifat maskulinitas beracun—”Pajero” merupakan SUV simbol kejantanan, “jero” merupakan titel kehormatan bagi pemangku pelayanan sekala/niskala, dan “romon” merupakan kotor dalam bahasa Bali. Tabrakan sebuah dentum dansa kampungan dan rock garang menjadi pemuas bagi hobi menari sembari pamer superioritas testosteron milik monster gila seks ala bonobo tersebut. Menilik ke belakang, komposisi singkat nan lugas yang tetap bermuatan dan berciri tersebut tak heran dilepas sebagai pemikat paling awal dari album penuh ini.


Gaya cerita berupa lakon ditutup bersamaan dengan dimulainya “LDR”, sebuah nomor yang mungkin pemilihan judulnya akan memicu rasa jijik. Namun, mendapatinya tercantum dalam sebuah album penuh kritik jelas memberikan harapan bahwa muatannya tak seremeh yang dikira. Walakin, nyatanya, nomor ini memang merupakan sebuah lagu (tentang) cinta yang mempermasalahkan jarak dan disajikan dengan bunyi paling pop yang dapat Rollfast hasilkan—ujungnya bahkan menyerupai Payung Teduh. Tapi tunggu, telaah kembali siapa, atau lebih tepatnya apa, yang mereka rasa kian jauh. Sebab ini bukan perihal asmara, melainkan kegusaran yang masih saja sama.

Tukar “auto” dalam Grand Theft Auto dengan “atma”, maka kamu akan langsung menangkap potret yang berusaha ditangkap dalam nomor ini. Sederhananya, kalau masih belum cukup jelas, “Grand Theft Atma” merupakan imaji gaya hidup kacau yang mungkin terjadi di Bali dalam kondisi yang serupa. Persetan dengan curanmor, sebab pencurian jiwa lebih berengsek; persetan dengan baku tembak, sebab adu santet lebih ampuh; persetan dengan pamer kuasa, sebab unjuk kemahiran magis lebih spektakuler. Mengakomodasi tema klenik tersebut, bebunyian eklektik—sample hip-hop, suara alat musik tiup yang disembur sembrono, suara gamelan, hingga suara wanita dari Google Assistant—yang menyerupai hasil olahan kain perca raksasa pun diperdengarkan dalam bentuk yang paling mistik.


Sudah berapa menit telinga dihajar sonik ingar bingar secara kontinu? Tidakkah sekarang mulai muncul rasa pekak? Awas terhadap kemungkinan munculnya ketidaknyamanan tersebut, Rollfast menggadaikan sejenak keberingasan mereka dengan ambient repetitif bertamukan vokal Leilani Hermiasih alias Frau yang diadu balapkan dengan synthesizer. Meskipun begitu, gitarnya yang menggerincing terlalu tajam menghalangi interpretasi versi lembut namun tetap satir dari bagian akhir “Garatuba” ini untuk benar-benar sukses menjadi penenang bagi pendengaran. Atau ini memang disengaja, supaya tidak jomplang dengan “Methanol”?

Kedua nomor berikutnya mungkin saja dapat dinikmati secara terpisah, namun rasanya tak akan lebih elok jika didengarkan secara berpunggungan. “Methanol” menampilkan wujud berupa ritual praperang yang bertaburkan tabuhan genderang puji-puji dari para prajurit, sedangkan “Mctanol” menampilkan wujud berupa hard rock psikedelik paling purba yang mereka punya dari album ini—namun tetap saja rancak dan tak terlalu ortodoks. Abaikan yin-yang tersebut, sebab sejatinya “Methanol” & “Mcthanol” menggugat hal yang sama: bahwa tak sepatutnya spiritus merusak kemurnian arak bali; bahwa tak seharusnya gengsi meracuni kemurnian tradisi—Tri Hita Karana secara lugas disebutkan dalam liriknya. Dua-duanya berdampak buruk, bahkan bisa merenggut nyawa.

Sudah terlalu banyak amarah yang telah diledakkan. Lagi pula, jika diteruskan, tak akan ada ujungnya. Kini waktunya mereda, melebur ulang bersama semesta sekitar, lalu lahir kembali dalam damai bertemankan paduan bentukan dari komponis kenamaan, Gardika Gigih, dengan ambient buah Agha yang awalnya akan dipersembahkan bagi sang buah hati—”Raré” merupakan “bayi” dalam bahasa Bali. Petikan oriental yang ditemani senandung bahkan ujaran samar serta dentuman hingga tetabuhan kalem tersebut secara paripurna mengistirahatkan hati dan telinga yang lelah.


Penutupan

Banyak anasir yang dapat dijadikan dalih untuk membubuhi album ini dengan label kohesif. Jika dinilai dari penyampaian tema, terpusatnya kegundahan mereka pada ketamakan modern yang menggusur kaul untuk menghidupi Tri Hita Karana merupakan salah satunya—tersebarnya kemasan berbeda dari sebuah ayat ke dalam beberapa nomor menyokong kelekatan ini. Jika dinilai dari penyajian bahasa, digunakannya ragam dwibahasa Indonesia-Bali pula permainan kata jenaka—telah sempat terlihat melalui slengean-nya judul-judul dalam album perdana—lah penyebabnya. Sedangkan, jika dinilai dari penyuguhan suara, leburnya musik etnik—bahkan terkadang di luar kategori itu—dengan akar rock merekalah pendorongnya.

Namun, kohesif bukan berarti sempurna. Celahnya minim, tapi tetap ada (tilik kembali gemerincing tajam gitar di "Bally", misalnya). Tapi tak apa, memangnya sebuah album harus sempurna untuk dapat digemari secara utuh? Apalagi jika impresinya sangat khas dan revolusioner, jika bisa disebut begitu.

Kini jelas, Rollfast tak perlu ragu untuk menyebut diri mereka sebagai kelompok musik asal Bali. Mari beri mereka selamat!

Baca Pula

0 comments