Bin Idris — Bin Idris (Ulasan)

16 November


Album ini semakin terdengar relijius di bulan ramadan

Gambar 1. Kover Album Bin Idris (Orange Cliff)
Entah bagaimana, namun pada ramadan kali ini saya selalu terbayang-bayang oleh “Rebahan”, track kedua dalam album self-titled oleh Bin Idris. Album ini memang dapat terdengar relijius, walaupun tanpa menyebutkannya secara gamblang melalui lirik. Hal ini membuat tiap track lagu ini, pun albumnya secara keseluruhan, syahdu untuk dinikmati pada senja sembari menanti berbuka.

Mungkin ini adalah sebuah ulasan yang terlambat, namun saya tidak terlalu menghiraukannya.

Album ini dibuka dengan “Temaram” yang menerawang ke dalam diri sendiri, mencari yang temaram di antara yang benar-benar gelap. Vokal yang menggema dan petikan gitar lambat namun tajam digunakan untuk mengiringi taawudz yang dipanjatkan.

“Rebahan” melanjutkan nuansa yang sudah dibangun sebelumnya. Gitar kali ini tak lagi tajam dan tak lagi sendirian, namun ditemani tabla dan synthesizer yang menghantarkan track ini menuju klimaksnya, bercerita tentang upaya berserah diri dan ikhlas.

Kontras dengan dua track sebelumnya, “Jalan Bebas Hambatan” dengan slengean-nya menyerocos tentang kelakuan seorang manusia di saat berada dalam perjalanan pulang via jalan bebas hambatan. Di tengah gitar yang dipetik santai dan liriknya yang terdengar menggelitik, pun track ini tak lantas meninggalkan relijiusitas dari album ini.

“Pusara” kembali dilancarkan dengan dingin dan tajam. Bercerita tentang siklus kehidupan, mengingatkan kita bahwa semua yang kita raih pada akhirnya harus kita relakan pada saat ajal menjemput. Gitar yang tajam pun berlanjut dalam “Tulang dan Besi”, namun vokal yang menahan geram, mengutuk yang lalim dalam tiap napas.


Gambar 2. Album Bin Idris versi CD (dok. Orange Cliff pada Instagram)
“Dalam Wangi” yang terdengar sangat melayu mengisahkan rumah sebagai sebuah suasana, alih-alih hanya sebuah bangunan. Suasana tersebut adalah yang mungkin dirindukan oleh mereka yang dikisahkan dalam “Di Atas Perahu”. Lagu ini dengan penuh empati mencoba menggambarkan rasa rindu dan pilu mereka yang ditinggalkan oleh orang-orang terkasih dalam sebuah bencana.

Meskipun mayoritas nomor dalam album ini disampaikan melalui lirik berbahasa Indonesia, “Calm Water” dan “How Naive” melaju dalam bahasa Inggris. “Calm Water” mengisahkan seorang anak dan ibu yang “menyelam ke dalamnya lautan”, sedangkan “How Naive” menceritakan naifnya manusia menganggapi kebencian yang bertebaran padahal mereka diajarkan untuk saling mengasihi.


Gambar 3. Album Bin Idris versi kaset (dok. Orange Cliff pada Instagram)
Di tengah yang berlirik, terselip pula nomor-nomor instrumental. “Laylat Al Qadr” menyajikan suasana malam seribu bulan melalui nada-nada tinggi menggema nan relijius, sedangkan “Inside A Room” sepertinya direkam dini hari di saat semua orang tengah terlelap.

・・・

Simak video musik untuk "Rebahan" di bawah.

Baca Pula

0 comments