Elephant Kind - The Greatest Ever (Ulasan)

01 Mei

 Mempesona dengan keselarasannya

Pembukaan

“True Love” menarik minat saya untuk mendengarkan City J. Namun, setelah menapaki nomor demi nomor dalam album tersebut, saya tidak menemukan pesona lain yang mampu menahan saya untuk mendengarkannya secara terus-menerus.

Gambar 1. Sampul The Greatest Ever
Gambar 1. Sampul The Greatest Ever (dok. elephantkind di Instagram)

Waktu pun berselang dan saya mendapati Elephant Kind menyuguhkan “I Believe In You” sebagai salah satu single dari The Greatest Ever. Single tersebut kembali membuat saya tertarik menyimak album mereka secara keseluruhan. Hasilnya sangatlah berbeda.

Pembedahan

Sampul album ini sangat mencolok karena menampilkan gambar kemasan alat kontrasepsi dalam warna dominan merah. Pemilihan ilustrasi pada sampul tersebut nampaknya tepat sebab The Greatest Ever memang sebagian besar berkutat dengan tema cinta dan aktivitas merayakannya. Hal tersebut jelas terpampang bahkan mulai dari nomor pertama.

Dalam “One” yang secara harfiah tepat untuk menempati nomor pertama, Elephant Kind mengangkat kisah tentang cinta yang datang secara mengejutkan namun pada akhirnya harus lepas begitu saja. Kisah ini diceritakan melalui lirik naratif yang membuatnya dapat dengan mudah tergambarkan. Penggunaan lirik naratif ini nantinya akan diterapkan pula pada sebagian besar nomor lain sehingga menghasilkan kejelasan yang sama.

Kepahitan dalam “One” perlahan digantikan kegilaan saat “Pleaser” mulai berputar. Kegilaan tersebut awalnya muncul pada lirik refrain namun terasa semakin nyata saat komposisi tiba-tiba menjadi liar dan muncul teriakan-teriakan yang juga tidak teratur. Selain cara mereka menyajikan kegilaan, nama salah satu pusat perbelanjaan yang disebut pun menjadi hal yang tak kalah menarik. Elephant Kind terkadang menyelipkan humor dalam lirik mereka, namun rasanya hal ini merupakan bagian yang paling menggelitik.

Gambar 2. Sheet lirik The Greatest Ever
Gambar 2. Sheet lirik The Greatest Ever

Usai menjadi gila, suasana bertolak kembali menuju rasa sedih. Jika dalam “One” kesedihan tersebut seolah sudah diikhlaskan, kesedihan dalam “I Believe in You” dibalut dengan musik yang pula sedih sehingga sedikit terasa belum direlakan sepenuhnya. Kesedihan dalam nomor ketiga ini mencapai puncaknya saat penggalan lirik “Why you gotta threaten to leave when everything’s alright?” diutarakan. Lirik yang pahit tersebut sepertinya dapat secara efektif menguak kembali kenangan-kenangan akan perpisahan yang pernah dialami sehingga saya pun selalu terbawa dengan emosi dalam lagu ini.

Menyelingi naik-turunnya emosi pada ketiga nomor awal, “Jim Halpert” hadir dengan singkat layaknya sebuah interlude. Judul dari nomor ini merujuk kepada nama dari salah satu karakter dalam serial The Office yang sepertinya dijadikan acuan atas kisah cintanya yang bersesuaian—dalam perihal mendambakan pasangan seseorang. Dalam nomor ini tempo mulai turun dan suasana pun cenderung berubah menjadi sunyi.

Kesunyian dalam “Jim Halpert” masih berlanjut ke dalam dua nomor selanjutnya. “Maccas” dan “Sour” yang merupakan dua buah nomor berbeda namun dapat terdengar selaras dan bahkan memuat tema yang serupa. Namun, jika percintaan dalam“Maccas” meninggalkan rasa manis, percintaan dalam “Sour” justru meninggalkan perasaan masam.

Setelah diberondong oleh tiga nomor yang cenderung sunyi, “Watermelon Ham” pun menyambut dengan hangat melalui nuansa tropikal yang hadir berkat pengaruh dari musik reggae. Dalam nomor ini cinta kembali menjadi bahasan utama walaupun secara khusus dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap ego orang-orang yang dimabuk olehnya.

Kontras dengan nomor sebelumnya, “Feels” yang menempati nomor delapan kembali menyajikan komposisi yang sunyi dan sendu. Namun, komposisi sederhana yang hanya menampilkan permainan piano tersebut sebenarnya digunakan sebagai landasan untuk membangun nomor ini lapis demi lapis menuju akhirnya.


Suasana kembali berubah saat “Better Days” yang menempati nomor setelahnya kembali menghadirkan suasana riang. Saking riangnya, lagu ini rasanya menjadi lagu yang paling cerah dalam album ini. Irama riang ini memang sesuai dengan pandangan pesimis-optimis yang disampaikan melalui lagu ini terutama melalui penggalan “These are the better days/If not today must be tomorrow”. Selain irama yang riang, lagu ini juga menawarkan pesona yang berbeda berkat hadirnya suara Heidi yang juga dikenal sebagai The Girl With the Hair. Uniknya, dalam lagu ini Heidi kembali membawakan kalimat yang dinyanyikan berulang-ulang seperti apa yang ia lakukan bersama .Feast dalam “Blackwater / Multiverses”.

Kembali kontras, “Lights Up” pada nomor terakhir menyajikan nuansa sunyi. Bedanya, dalam nomor ini dihadirkan nuansa penuh damai berkat penggalan “Find your inner peace/Set your spirit free”yang seolah terdengar seperti doa Elephant Kind bagi para pendengarnya. Jika dilihat dari apa yang disampaikan di dalamnya, nomor ini memang terasa tepat diletakkan sebagai penutup. Namun, jika dibandingkan dengan ketimpangan suasananya dengan “Better Days”, lagu ini dapat juga terasa seperti sebuah antiklimaks.

Penutupan

Beberapa nomor dalam The Greatest Ever mungkin terdengar menonjol karena tiba-tiba menawarkan gaya musik yang berbeda, namun secara garis besar seluruh nomor dalam album ini dibangun di atas dasar yang sama. Hal ini menjadi poin yang menarik, sebab The Greatest Ever pada akhirnya punya pesona yang mengundang saya untuk mendengarkannya secara utuh.

The Greatest Ever bukan merupakan sebuah album yang penuh dengan usaha untuk memamerkan kemampuan secara berlebihan, sebab rasanya kemampuan Elephant Kind disajikan secara tepat melalui lagu-lagu yang sederhana namun terdengar dibuat dengan memperhatikan detail. Selain itu, beberapa nomor dalam album ini menyajikan beberapa bagian yang terasa dibuat secara spontan sehingga membuatnya terdengar organik. Namun, album ini bukanlah tanpa celah sebab penyusunan nomornya seakan kurang diperhatikan sehingga terasa cukup mengganggu.


・・・


Sila simak video musik dari nomor favorit saya dari album The Greatest Ever di bawah.


Baca Pula

0 comments